Aku dan teman Taiwanku - 1

(by: suppercutey@yahoo.com)
Tahukah kau bagaimana rasanya sperma?!? Pernahkah kau mencicipinya walau hanya setetes?!? Yah, sperma! Yang aku maksudkan di sini bukanlah merk wine terbaru. Aku pernah, beberapa kali! Berhati-hatilah, efeknya lebih dahsyat daripada obat psikotropika mana pun, bisa bikin ketagihan!
Kalau bicara tentang sperma, bagiku hanya ada satu yang paling enak! Tapi sayangnya, aku tak bisa berbagi dengan siapa pun, karena yang satu ini hanya untukku! Dalam perkara yang satu ini, aku telah merelakan diriku untuk menjadi seseorang yang sangat egois. Pokoknya hanya aku yang boleh menikmati sperma Zai-Zai. Titik.
Setiap kali aku menghabiskan waktuku untuk melamun seorang diri, seringkali sosok cowok Taiwan berambut gondrong itu muncul di benakku. Aku diingatkan kembali tentang louivelle park, tempat di mana kami berkenalan di negeri kanguru sana. Jauh sebelum itu, aku memang pernah melihatnya di kampus, ketika ia menjadi ketua komite penerimaan mahasiswa baru. Kebetulan, dia memang seniorku, kami beda setahun. Sejak pertama kali melihatnya, aku sama sekali tidak menyukainya. Menurutku, dia termasuk pria yang kasar, dan pasti tak ada gadis baik-baik yang mau padanya. Kecuali gadis yang mencari tampang gantengnya saja atau kalau tidak, mata duitan! Memang harus aku akui, Zai-Zai cakep, face-nya chineese sekali. Matanya sipit, hidungnya mancung, dan bibirnya sesensual bibir idolaku, Aaron Kwok. Tapi sikapnya waktu itu memang sungguh menyebalkan, sampai-sampai aku ingin sekali menonjok mukanya. Jangan main-main dengan orang Indonesia yang satu ini, ancamku dalam hati ketika cowok sok hebat itu berdiri sambil mengacungkan jari tengahnya di depan mukaku.
Louivelle park di waktu sore, udara musim panas membuatku gerah untuk terus-terusan berada di dalam rumah Mr. Walsh yang tidak ber-AC ini. Aku memutuskan untuk keluar rumah dengan bersepeda. Saat itu, aku sudah punya tujuan jelas kemana aku akan mengayuh sepeda mustangku, tentu saja ke Louivelle park, sebuah taman kota yang letaknya tak jauh dari rumah orang tua angkatku, Mr Walsh. Apalagi jam empat sore, biasanya taman kota itu cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain ayunan atau scratch, atau sekedar berlatih semaphore. Seringkali aku juga bergabung bersama mereka, di samping aku suka dengan anak-anak, menurutku tak ada salahnya juga mengulangi masa kanak-kanakku yang hampir terampas karena minimnya waktu bermain.
Setiap akhir minggu, aku pasti bermain kemari, mengunjungi orang tua angkatku. Sedangkan, pada hari biasa, aku memilih untuk tinggal di sebuah aparteman dekat kampusku di Melbourne yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari kota ini. Tapi sabtu sore itu aku sama sekali tak punya firasat apa pun, aku memutuskan bersepeda ke louivelle park hanya semata-mata untuk bermain dan mengendorkan saraf-saraf otakku yang seperti benang kusut setiap akhir minggu tiba. Sore itu, Aku sama sekali tak pernah berharap mendapatkan sebuah kejutan di tengah perjalananku menuju louivelle park.
Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan kota kecil yang rindang penuh ditumbuhi pepohonan di kanan-kiri jalan raya itu, sekilas mirip boulevard, tapi boulevard yang sepi. Terus terang, Aku telah jatuh cinta dengan kota kecil ini sejak aku mengenal keluarga Walsh dua tahun silam, suasananya tidak seperti hiruk pikuknya kota Surabaya atau Jakarta. Namun tiba-tiba, di tengah jalan, aku tersentak kaget karena nyaris menabrak seseorang, bersamaan dengan rasa kagetku, tanganku langsung mengkeram rem dengan begitu kuatnya, "hampir saja!" kataku seketika sambil menjejakkan kakiku ke jalan aspal. Seorang anak muda menatap ke arahku, tepat di depan setang sepedaku. Sorot matanya memancarkan rasa kaget bercampur marah. Aku mendengar ia mengumpat, tapi bukan dalam bahasa Inggris, melainkan dengan bahasa Mandarin. Meski tak mahir, aku mengerti sedikit Mandarin.
Ketika aku balas menatapnya, aku malah jadi lebih kaget lagi. Sepertinya tampangnya tak begitu asing bagiku. Aku teramat yakin kalau pernah melihatnya sebelum ini. Yah, dialah Zai-Zai, seniorku di kampus.
Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur denyut jantungku kembali, kemudian aku membuka mulutku, "Sorry!" kataku.
Zai-Zai tak menyahut, ia kemudian melintas begitu saja di depan sepedaku. Melihatnya bertingkah seperti itu, membuat kejengkelanku naik sampai di ubun-ubun. Aku ingin sekali mengejarnya, mencengkeram pundaknya dan memberi sedikit pelajaran atas sikap sombongnya. Tapi entah mengapa, aku serasa tak kuat mengangkat kakiku untuk berlari mendekatinya. Aku hanya terpaku di tempatku berdiri saat itu, di tengah jalan raya. Lagi pula, kali ini aku yang salah karena tak berhati-hati sehingga hampir saja menabrak Zai-Zai yang menyeberang di Zebra Cross.
Tapi jangan dipikir kedongkolanku surut, sama sekali tidak. Bahkan ketika sampai di bangku taman, aku membanting sepedaku ke tanah. Aku tak lagi berminat main scratch atau sepakbola dengan teman-teman kecilku. Aku membanting tubuhku ke kursi taman, kemudian mengangkat kedua kakiku naik ke atas kursi. Aku termenung, tatapan mataku hampa menghadapi lapangan rumput kecil yang ada di depanku. Hanya satu yang aku pikirkan saat itu, kenapa aku makin benci saja dengan orang itu, setiap kali melihat tampangnya, aku malah makin tidak suka padanya.
"Sorry, apakah kamu melihat anjing pudel berwarna putih bermain di sekitar sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku dan sudah berdiri di belakangku. Lamunanku pun langsung buyar seketika, aku menoleh ke arah orang itu.
"Kau.. Kau yang tadi hampir menabrakku itu kan?" tanya orang itu ketika melihat mukaku.
Aku benar-benar kaget setengah mati waktu itu.
"Ap.. Apa?" sahutku gagap.
Zai-Zai kemudian mengambil tempat duduk di sampingku. Ia memandangku dengan tatapan galak.
"Kau lihat anjingku tidak?" tanyanya sekali lagi sambil mengeja kata-katanya. Aku menggeleng, "Tidak!"
"Oke, aku cari dulu anjingku. Sebentar aku kembali kemari, kita pernah ketemu kan? Sepertinya aku harus membuat perhitungan denganmu," kata Zai-Zai sembari bangkit dari kursinya dan meninggalkanku, nadanya seolah mengancam, dan memang seperti itulah kalau ia sedang berlagak sok hebat di kampus.
"Yah, kita harus buat perhitungan! Aku ingin menonjok mukamu!" sahutku dalam hati.
Kembali kurapatkan kakiku lalu kulipat naik ke atas bangku taman. Kenapa aku begitu bego, aku kelihatan begitu lemah dan bodoh di hadapannya. Aku memang belum pernah berkelahi, tapi itu bukan berarti aku pengecut. Umur lima tahun, aku sudah tidur di kamarku sendiri dalam keadaan gelap, aku tidak pernah takut setan atau pun antek-anteknya, aku juga suka memanjat pohon sampai ke cabangnya yang paling tinggi dimana tak ada seorang pun temanku yang berani mencapainya. Pokoknya aku tidak ada bakat pengecut. Titik.
Sepuluh menit, dua puluh, tiga puluh dan sejam, cowok sok hebat itu tidak muncul-muncul juga. Aku sumpahin anjingnya tidak bakal ketemu sampai empat puluh hari, moga-moga saja anjing pudel itu kecantol sama salah satu anjing betina yang berkeliaran di sekitar taman, lalu mereka berdua kawin lantas bulan madu ke Paris, biar sekalian bingung tuh cowok! Tapi yah mungkin saja Tuhan tahu kalau harapanku itu terlalu berlebihan, hampir saja aku mengambil sepedaku untuk pulang ketika kulihat Zai-Zai kembali sambil menuntun seekor anjing yang berjalan mendahuluinya.
Anjing kecil itu mengibas-ngibaskan ekornya sembari mendekatiku, "Ya ampun, apa anjing ini kecantol padaku yah? Jangan-jangan aku yang nantinya dibawa bulan madu ke Paris! Tapi tidak, belum pernah kulihat ada anjing homo. Kalau memang ada, akan langsung ku kebiri saja dia!"
Zai-Zai mengambil tempat duduk di sebelahku, persis di tempatnya sejam yang lalu. Rantai yang mengikat anjing kecil itu diikatkan pada salah satu kaki kursi, tampaknya anjing itu harus pasrah tidak bisa kabur lagi seperti tadi, ikatannya sepertinya sangat kuat.
Tak lama sesudah itu, Zai-Zai membetulkan posisi duduknya, menatapku dan kemudian menjulurkan tangannya. Oh, tentu saja aku tahu maksudnya. Dengan sedikit ragu, kubalas uluran tangannya sambil waspada kalau-kalau ia membantingku mendadak. Ternyata dugaanku meleset, kami berkenalan!
"Namaku Lau Yen Fung, biasa dipanggil Zai-Zai. Kau?"
"Steve.. Namaku Steven,"
"Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya, betul kan? Kau berasal dari mana?"
"Yah, kita satu kampus. Aku mahasiswa baru, dari Indonesia!"
Zai-Zai tertegun untuk beberapa saat lamanya, keningnya berkerut-kerut naik turun, lalu dia ngakak sampai membuat jantungku hampir copot saking kagetnya, "Ya.. Ya.. Ya, aku ingat! Kau anak culun yang waktu itu kan?!? Kau tahu, kau sempat jadi primadona di kalangan teman-teman seangkatanku. Lucu.. Lucu, sangat lucu!"
"Sialan, aku dibilang culun! Memangnya siapa dia, merasa lebih hebat dariku?" umpatku dalam hati. Aku sengaja tak menjawab, karena bagiku menjawab sepatah kata saja itu sama artinya dengan menyetujui ucapannya.
Tetapi kemudian, Zai-Zai menurunkan volume tawanya, "Sorry kalau aku salah bicara. Tapi menurut aku pribadi, kau sepertinya anak baik," katanya sembari menepuk sebelah pundakku.
Ia mengerling sekali padaku, aku balas dengan senyuman. Anak baik, yah mungkin saja! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Kalau sudah, tidak akan berlaku lagi predikat " a good boy" itu. Yah, biarlah waktu yang bicara, kita tunggu saja apa yang akan terjadi kemudian.
Singkat cerita, sore menjelang malam itu, aku harus menghabiskan waktuku berduaan saja bersama Zai-Zai. Semula ku pikir, aku pasti tidak akan betah duduk berlama-lama sembari mengobrol dengan Zai-Zai di atas bangku yang sama. Tapi ternyata aku justru merasakan sebaliknya, seolah jam jam berputar lebih cepat saat itu, tepat ketika kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Zai-Zai ternyata teman ngobrol yang asyik. Ia suka sekali dengan binatang, hobby nonton (sama denganku), dan maniak sepakbola.
Memang tak lama kami berbincang, kami harus pulang untuk makan malam. Tapi malam itu, aku sudah tahu cukup banyak tentang kepribadian teman baruku yang satu itu, juga tempat tinggal orang tua angkatnya yang cuma berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah Mr Walsh. Kesimpulannya, aku menyukai kepribadiannya, dan itu sudah cukup untuk menghapus bersih seluruh kebencianku padanya.

Bersambung . . . . .