Oase laut utara - Bermain api di tengah air - 1

Irama kehidupan di sebuah mess agak berbeda dengan irama keseharian di luar sana. Karena sebuah mess biasanya hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan.
Keterangan di atas aku terima dari Kepala Mess, Pak Roy, ketika aku tengah menyelesaikan urusan administrasi berkaitan dengan rencana tinggalku di mess ini untuk waktu yang agak lama. Saat ini mess sedang kosong dan baru minggu depan akan ada program pendidikan baru. Jadi Pak Roy punya waktu kosong untuk mengajakku keliling mengenali lingkungan mess.
Fasilitas yang ada di situ cukup lengkap dan semuanya berkaitan dengan masalah laut dan kelautan. Ada perpustakaan, laboratorium, kolam renang, tempat simulasi penyelaman, arena untuk berbagai olah raga, kantin, dsb; di samping ruang-ruang kelas, ruang rapat, aula dan sederetan rumah dinas pegawai mess.
Selain Pak Roy, masih ada beberapa orang pegawai di lingkungan Kelautan yang tinggal di rumah dinas di lingkungan mess tersebut. Pada umumnya mereka para instruktur dan pegawai pendukung. Aku sempat dikenalkan dengan beberapa orang di antaranya.
Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah rumah dinas Kepala Instruktur, yang katanya seorang purnawirawan TNI. Sayang sekali kami tidak ketemu orangnya karena sedang mengantar anaknya ke sekolah. Tapi kami sempat ketemu istrinya dan berbasa-basi sebentar.
"Pak Harso boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini kapan saja," kata Pak Roy ketika selesai berkeliling dan aku berpamitan untuk kembali ke paviliun.
Siang itu aku mulai menata persiapan bahan dan perlengkapan untuk pengolahan data penelitianku. Lay out ruangan terpaksa aku ubah sedikit sehingga lebih praktis tapi cukup efisien sebagai ruang kerja pribadi.
Sorenya aku ingin santai tapi tak mau sekedar duduk-duduk diam. Olah raga? rasanya lapangan tenis dan badminton tampak kosong tidak ada yang main. Begitu juga dengan meja ping pong. Renang? Kayaknya terlalu 'serius' apalagi kalau sendirian.
Pilihanku akhirnya jatuh pada joging. Segera kuganti pakaianku dengan kaos oblong tanpa lengan dan celana kanvas pendek. Untung aku tak lupa bawa sepatu kets yang sudah cukup lama tak kupakai ini.
Hampir tiga kali aku mengitari kompleks mess sebelum akhirnya berkeliling di sekitar lapangan rumput yang tampaknya mulai ramai orang. Rupanya aku terlalu 'siang' berolah raga, karena baru menjelang sore mulai banyak anak-anak, bapak-bapak dan warga mess lainnya yang memanfaatkan fasilitas olah raga di sini.
Yang paling ramai dikunjungi memang di lapangan rumput ini. Beberapa orang tampak memperhatikanku. Maklum, karena aku orang baru di lingkungan ini. Sementara di pojok lapangan sana beberapa gadis dan ibu-ibu melihatku sambil cekikikan. Aku agak salah tingkah juga.
Sepertinya penampilanku cukup menarik perhatian orang. Di samping karena aku orang baru, postur tubuhku yang agak gede tampaknya menyolok di antara yang lain. Apalagi ternyata pakaianku agak 'berani' dibandingkan dengan pakaian orang-orang yang ada di situ.
Dengan kaos tanpa lengan yang agak terbuka, otot lengan dan bagian ketiakku jadi terlihat jelas. Sementara celana pendek yang kupakai tak mampu menyembunyikan bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar betis dan pahaku. Tiba-tiba aku jadi risih sendiri. Beberapa gadis di sana masih melihatku dengan pandangan tertentu.
"Sore Pak!" ada suara agak berat menyapaku dari belakang.
"Sore..," jawabku agak ragu sambil menyambut tangan seorang bapak yang menyapaku. Orangnya gagah, agak gemuk, sedikit botak, tapi wajahnya ganteng terutama karena senyum dan kumisnya yang..
"Gunawan..," katanya sopan sambil tersenyum ramah.
"Oh, Pak Gunawan. Saya Harsoyo Pak," kataku langsung mengenalkan diri begitu tahu kalau orang yang berdiri di depanku ini Pak Gunawan, Kepala Instruktur di sini, yang tidak sempat kutemui siang tadi.
Kami lalu berbincang-bincang ringan selayaknya orang yang baru saling kenal. Pak Gunawan saat itu tampaknya juga sedang berolah raga. Kaosnya tampak basah oleh keringat. Demikian juga handuk kecil yang sesekali diusapkan ke leher dan dahinya yang berpeluh. Terus terang, ada sesuatu pada diri Pak Gunawan yang membuat gelisah pikiranku.
Bapak ini ternyata seorang laki-laki yang memiliki daya tarik tidak saja secara fisik tapi juga karena usia dan kematangannya. Dan aku tak fair bila tak mengakui hal itu. Meski pakaian olah raganya cukup rapat, training spaak dan kaos lengan panjang, tapi ketegapan tubuhnya tak bisa disembunyikan dari pandanganku. Oh, tiba-tiba wajah Bahar membayangiku..
"Dik Har olah raganya apa?" lamunanku dibuyarkan oleh suaranya yang kebapakan itu. Panggilan 'dik' kepadaku terasa lebih akrab dan hangat.
"Apa saja Pak, yang murah meriah," jawabku."Tapi yang paling sering ya joging dan renang," lanjutku menjelaskan.
"Wah, renang!, itu olah raga wajib di Kelautan sini lho," katanya sambil tertawa. Cara tertawanya benar-benar menawan. Oh, Bahar maafkan aku!
Sore itu kami belum sempat ngobrol banyak karena sudah keburu petang. Pulangnya kami berjalan kaki lewat belakang memutari lapangan. Kebetulan rumahnya searah dengan paviliunku. Waktu pamitan, dia janji akan mampir ke tempatku kapan-kapan. Tangannya menepuk punggungku. Akrab dan hangat.
"Ayo Dik," dia berpamitan sebelum berlalu meninggalkanku
"Mari Pak.."
Sesampai di rumah aku langsung mandi karena keringat sudah mengering dari tadi. Malamnya aku baca-baca dan.. Aku baru teringat bahwa di tempatku tak ada pesawat televisi. Mati aku! Bisa kuper aku kalau begini caranya.
Kucoba menelepon ke kantor Pak Roy tapi tidak ada yang mengangkat. Barangkali kalau malam begini kantornya memang sudah tutup, tidak ada yang jaga. Lalu?
Tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu. Siapa?
Aku bergegas ke depan, dan ternyata Pak Gunawan! Surprise! Aku sampai agak gelagapan menyapanya.
"Maaf nih Dik Harso, bapak bertamu malam-malam," katanya masih di ambang pintu.
"Nggak pa-pa Pak. Kebetulan ada beberapa yang mau saya bicarakan," kataku meyakinkan dia agar tak mengurungkan niatnya untuk bertamu.
Kami segera larut dalam obrolan kesana kemari, termasuk masalah televisi yang belum ada di kamarku. Dari televisi pembicaraan jadi berkembang kemana-mana. Wawasannya cukup luas dan termasuk pembicara serta pendengar yang baik. Orangnya juga baik, akrab dan humoris.
Pak Gunawan ternyata berasal dari Bengkulu dan istrinya dari Jepara, Jawa Tengah. Anaknya satu, baru kelas dua SMP. Sementara usia Pak Gunawan sendiri sudah lima puluh tahun lebih. Agak telat kawin tampaknya.
"Makanya jangan telat Dik. 'Ntar kayak saya lho," katanya mengingatkanku.
"Yaa.. Kalau belum ketemu jodohnya, gimana Pak?" kataku mengelak
"Maaf ya, umur Dik Harso sekarang berapa?"
"Tiga puluh.."
"Sebenarnya belum telat juga ya."
"Ya. Apalagi laki-laki."
"Tapi, mosok sih selama tiga puluh tahun cuma buat kencing doang?" ledeknya sambil ketawa ngakak.
Aku agak kaget dengan komentarnya, meskipun itu guyonan yang klise. Tapi karena Pak Gunawan mengucapkannya sambil tertawa dan tanpa maksud apa-apa, aku pun ikut tertawa menanggapinya. Bahkan aku malah suka dengan omongannya yang mulai nyerempet itu.
"Pak Gun sendiri kawin umur berapa, Pak?" tanyaku.
"Wah, saya nikahnya telat. Hampir empat puluh baru nikah" katanya sambil matanya menerawang, lalu, "Kalau 'kawin' sih sudah saya lakukan sejak usia dua puluhan" lanjutnya dan kembali ketawa ngakak.
Tadinya aku kurang tanggap dengan kata-katanya. Tapi karena kata"kawin" sengaja diucapkannya dengan nada tertentu, aku baru paham, dan jadi ikut ketawa.
"Dik Har kapan mulai kawin?" tanyanya kemudian.
"Ya, nanti kalau ketemu jodohnya Pak" jawabku.
"Maksudku 'kawin' lho, bukan nikah" jelas Pak Gunawan sambil senyum-senyum.
Semula aku agak kaget juga. Pertama, karena jawabanku tadi nggak nyambung, dan yang kedua, karena omongan Pak Gunawan tampaknya makin mengarah.
"Maksud Pak Gun, mengenal seks?" aku nekad memperjelas maksud pertanyaannya.
"Ya!" jawabnya sambil mengangguk-angguk.
"Kalau itu sih, sama dengan Pak Gunawan, di usia dua puluhan."
"Habis itu, pasti berlanjut terus ya?"
"Nggak juga."
"Ah masa?, Dik Har kan orangnya masih segar begini. Gagah. Pasti masih kuat gairahnya."
"Ya. Tapi kan nggak bisa sembarangan, Pak."
"Orang seganteng Dik Har 'kan pasti banyak yang suka. Tinggal pilih saja. Apalagi Manado sini terkenal dengan ceweknya yang.." Pak Gun tak melanjutkan kalimatnya, tapi membuat isyarat dengan jempolnya.
Aku hanya senyum-senyum saja mendengar komentar-komentar Pak Gunawan tentang diriku. Sebenarnya aku agak bingung menjawab pertanyannya tentang pengalaman seks-ku. Bukan apa-apa. Rasanya tak mungkin kuceritakan bahwa aku pernah tidur dengan satu dua perempuan, dan selanjutnya pengalaman ranjangku lebih banyak terjadi dengan laki-laki.
"Saya dulu termasuk play boy lho," tanpa kutanya Pak Gunawan memulai bercerita.
Sebenarnya aku tidak kaget dengan omongannya itu. Pak Gunawan memang laki-laki yang menarik. Pasti waktu mudanya banyak digilai oleh gadis-gadis. Dari tampangnya kelihatan kalau dia punya bakat play boy. Senyum dan sorot matanya mempertegas hal itu.
"Wah, boleh dong bagi-bagi ilmunya, Pak," kataku memancing.
"Aahh, sebenarnya Dik Har sendiri sudah punya modal untuk jadi play boy, lho," jawabnya menunjuk ke arahku.
Pak Gunawan lalu bercerita bahwa dulu ia punya senjata andalan: kumisnya. Menurutnya, banyak gadis-gadis yang tertarik dengan kumisnya yang cukup tebal itu. Memang sejak awal kenal, harus kuakui bahwa bagian yang paling menarik dari wajah Pak Gunawan adalah kumisnya. Khas pejabat militer. Dan di mataku, kumis itu kelihatan sexy.
"Tapi masa mereka hanya tertarik sama kumis?" tanyaku makin menyelidik.
Pak Gunawan tersenyum mendengar komentarku sambil telunjuknya bergerak-gerak ke arahku, seolah-olah paham arah pertanyaanku.
"Maksudmu, soal beginian?" katanya sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah, "Itu sih rahasia perusahaan. Tapi yang jelas, tak ada wanita yang tak pernah puas dengan saya.."
Aku hanya tersenyum saja mendengar penuturannya. Pancinganku ternyata masih belum terlalu mengena. Padahal aku sudah penasaran ingin mendengar omongannya lebih mengarah lagi ke hal-hal yang lebih sensistif.
"Yang jelas, perempuan 'tu lebih menyukai kalau kita punya barang yang gede.." katanya setengah berbisik, seolah menjawab apa yang tengah jadi pikiranku.
"Kalau gitu, punya Pak Gun gede dong?" tanyaku sambil menahan nafas.
"Haa.. Ha.. Haa.. Ha.." dia ketawa sambil meninju bahuku,"Sebenarnya, yang penting bukan ukuran, tapi cara menggunakannya.." lanjutnya diplomatis, dan tawanya makin berderai-derai.
"Tapi kan harus ditunjang dengan fisik yang kuat juga, Pak" kataku menambahkan.
"O iya, itu pasti. Makanya harus rajin-rajin olah raga."
"Pak Gunawan waktu itu olah raganya apa?" tanyaku
"Dulu saya hampir suka semua olah raga, terutama volley dan renang."
"Renang di kasur.." aku mencoba mencandainya
"Bisa saja kamu ini. O ya, katanya Dik Harso suka renang juga? Besok sore saya punya rencana mau renang. Gimana, mau ikut nggak?" ajaknya tiba-tiba
Aku diam tidak sempat menjawab.
"Kenapa? Nggak punya celana renang? Saya punya beberapa. Bisa dipinjam, kalau mau." katanya begitu melihat aku tak menjawab ajakannya.
"Saya ada celana renang kok, Pak" kataku, lalu,"Lagian kalau pakai punya Pak Gunawan 'kan belum tentu cukup."
"Kenapa? Wah, punyamu pasti ukurannya lebih gede ya?" katanya menggodaku sambil matanya sengaja mengarah ke bagian depan celanaku.
Akhirnya pembicaraan kami berhenti sampai pada rencana untuk renang besok. Pak Gunawan lalu pamitan dan besok sore dia janji akan mampir ke sini lebih dahulu sebelum ke kolam renang.
Namun keesokan harinya, ajakan Pak Gunawan bukan sesuatu yang mudah kupenuhi. Ada kegelisahan sendiri memikirkan hal itu. Aku takut terseret oleh daya tariknya. Takut bila ternyata Pak Gunawan bukan seseorang seperti yang kubayangkan. Namun di sisi lain, aku masih berharap bahwa ia memang seperti seseorang yang kuinginkan dalam pikiranku. Tapi kegelisahan ini menimbulkan ketakutan di sisi lain: bayangan Bahar terlalu sulit untuk kukhianati. Belum seminggu aku jauh darinya, sudah ada godaan seperti ini. Mungkinkah Bahar juga mengalami seperti ini di Surabaya sana?
Akhirnya aku putuskan untuk melakukan penjajagan saja. Wait and see. Lalu bagaimana kalau ternyata apa yang kuharapkan benar? Entahlah, sulit menjawabnya. Aku memang dalam sebuah dilema.
Sebenarnya ada kelegaan sedikit, ketika sampai jam 4 sore Pak Gunawan belum juga datang menjemputku. Artinya, untuk saat ini, aku tak perlu terombang-ambing oleh keinginan dan naluri penolakanku.
Tapi kelegaan itu ternyata hanya berumur sepuluh menit. Dia datang dengan hanya bersandal jepit, bercelana pendek dan menenteng handuk serta peralatan mandi lainnya. Dadaku galau, antara bimbang dan senang.
"Ayo. Jadi ikut 'kan?" ajaknya akrab seperti biasanya.
"Sebentar ya Pak" kataku sambil masuk. Segera kuganti celana dalamku dengan celana renang dan kukenakan celana bermuda.
"Mari Pak.." ajakku kemudian sambil menutup pintu
Kami langsung menuju kolam renang. Ada beberapa anak kecil tengah bermain di sana. Tapi segera lari menghambur keluar begitu kami berdua masuk.
"Lho, lho.., kok sudah selesai?" sapa Pak Gunawan ramah pada anak-anak penghuni mess itu.
Mereka hanya tertawa-tawa saja sambil berhambur melewati kami berdua. Mungkin mereka sudah lama main-main di kolam ini dan memang sebenarnya ini sudah terlalu sore untuk berenang, karena udara sudah agak teduh bila dibandingkan satu dua jam yang lalu.
Pak Gunawan tanpa sungkan-sungkan melepas baju kaosnya dan memelorotkan celana pendeknya, hingga tubuhnya kini hanya bercawat renang saja. Seksi juga bapak-bapak ini, pikirku. Cawat yang dipakai pun cukup gaya: model bikini bergaris-garis vertikal warna biru.
Kedua kakinya kulihat berjingkat-jingkat sambil tangannya membetulkan ujung karet celana renangnya agar lebih nyaman posisinya. Kadang-kadang diselingi dengan gerakan berjongkok dengan kedua lengan terlipat di belakang leher. Ah, dasar instruktur!
Gerakan pemanasan yang dilakukan Pak Gunawan tak urung membuatku berdesir. Karena dalam beberapa posisi tak urung gerakan itu memperjelas garis lekukan dan tonjolan yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Sebenarnya aku agak kikuk melihatnya, mengingat antara kami belum akrab benar. Dan aku pura-pura tak memperhatikan lagi.
Segera kubuka pakaianku dan berusaha menahan diri untuk tetap tak 'terpengaruh' oleh aksinya. Untuk kesempatan ini aku sengaja memakai celana renang model trunk sehingga sebagian pinggulku agak tertutup, jadi agak lebih 'sopan'. Bukan apa-apa, aku tak mau menyolok. Siapa tahu kolam ini ternyata penuh dengan orang-orang, seperti di lapangan olah raga kemarin.
Pak Gunawan ternyata memperhatikanku selama aku membukai pakaianku. Tapi pandangannya santai dan senyumnya ringan-ringan saja. Aku saja yang ge-er. Tapi pikiranku jadi berubah ketika dia tiba-tiba memberiku isyarat dengan mengangkat lengan kanannya dan menunjukkan otot bisepnya sambil menunjuk-nunjuk tubuhku, lalu mengacungkan jempolnya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa aku punya tubuh yang bagus.
Padahal, ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Meskipun perut Pak Gunawan agak buncit, namun bahu dan dadanya cukup padat dan proporsional. Memang bulu di tubuhnya tak sebanyak milikku. Bulunya lebih keriting dan lebih banyak tumbuh di sekitar perut dan bagian bawah pusarnya saja, di bagian atas hanya tumbuh di sekitar puting dadanya.
Pak Gunawan lalu menganjurkan aku untuk melakukan gerakan pemanasan seperti yang dilakukannya tadi. Sementara ia sudah selesai pemanasan dan sekarang sedang berlari-lari kecil mengitari kolam renang. Gerakannya cukup gesit dan atletis. Dari seberang kolam renang aku jadi lebih bebas mengamati segala gerak-geriknya. Tubuhnya yang setengah telanjang itu meliuk-liuk membentuk siluet tertimpa sinar matahari sore. Dengan hanya bercelana renang, ketegapan tubuhnya makin terlihat nyata dari kejauhan. Sialan, aku jadi terpengaruh juga akhirnya. Kurasakan bagian depan celana renangku mulai mengeras.
Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di air. Kami sempat beberapa kali melakukan renang sprint bolak-balik. Lumayan capek. Lima menit kemudian kami sepakat untuk menyudahinya begitu sampai di tepi kolam sebelah timur yang terkena sinar matahari.
Bersambung . . .