Pernik-pernik kencan gay di Jakarta - 4

Sementara pinggulnya naik turun, kontolnya menembusi mulutku. Aku tahu Anto ingin ejakulasi dalam mulutku. Aku terima. Aku jemput dengan memompakan mulutku pada kemaluannya itu. Hingga..
"Aarrcchh.. Maass.. Amppuunn.. Maass.. Aarrcchh..." genjotan pinggulnya mengencang, sodokkan kontolnya menyentuh gerbang tengorokanku. Aku menahan dengan sikuku agar tak tersedak. Sperma Anto muncrat keras dan panas dalam mulutku. Kurasakan 6 atau 7 kedutan kontolnya pada setiap kali menyemprot.
Kukeluarkan rokok Jarumku sambil istrirahat ngobrol menunggu semangat lanjutan berasyik masyuk ini. Kami tetap salin raba dan pijit. Aku bilang paling senang dengan ukuran kontol macam dia punya ini. Akujuga bilang paling senang menciumi ketiak dan lubang pantat.
"Mau nggak kamu nembak aku?" tanyanya.
Dia pengin aku melakukan penetrasi pada pantatnya. Dan sesudah istirahat itu kami kembali memulai. Aku kembali telentang dan kutarik dia untuk berposisi duduk pada wajahku. Analnya yang terbuka langsung mengenai hidung kemudian bibirku. Aroma anal yang khas macam inilah yang selalu aku rindukan. Aku mengendus-endusi, menjilat dan menyedoti lubang tainya.
"Hh.. Hhcch.. Uucchh.. Aarrhh..." demikan dengus atau desah Anto menerima nikmat jilatan dan ciuman di pantatnya. Aku membuat lubang tainya membasah oleh ludahku.
Kemudian aku bangkit dan menyuruh Anto telentang. Aku langsung menindih untuk melakukan penetrasi pada lubang pantatnya. Kakinya kulipat dan kuminta ditakupka ke punggungku. Dengan cara ini kemaluanku terasa pas dan tepat di mulut analnya. Dengan ludah yang kubalurkan pada jari-jariku aku mulai melicinkan bibir-bibir anal Anto ini.
Kini kudesakkan kemaluanku ke lubang nikmat Anto. Dia menjerit sambil meringis,
"Dduuhh.. ssaakiitt.. Dd..." suara macam itu sungguh merdu di telinga yang sedang dilanda nafsu syahwat macam aku kini. Aneh minta 'ditembak' namun berteriak sakit. Itulah kenikmatannya.
Aku memang nggak bisa kelamaan iseng macam begini. Besok mesti ngantor. Sekitar jam 8 malam kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
*****
[Gunting Rambut]
Mangkal Aman dan Gratis
Sudah lebih sebulan aku telat potong rambut. Rasanya sudah risih. Saat pulang kantor aku mampir di Mall Ciputra Slipi. Di lantai 3 ada salon Rudy. Aku sering melihat tukang cukurnya keren-keren. Sebelum aku masuk mendaftar aku ngintip dulu di kaca etalase. Rupanya jam begini tak banyak orang potong rambut. Kuperhatikan ada sekita 20 kursi cukur hanya 3 yang sedang terisi. Praktis para pemotong rambutnyapun pada nganggur menunggu pelanggan. Aku perhatikan satu-satu di antara mereka hingga kulihat dia, belakangan kutahu namanya Farhan, pria muda tampan jangkung. Akhirnya kutetapkan masuk. Saat mendaftar aku pesan minta dia yang mencukurku. Dan terjadilah.
Pada awalnya aku tak banyak bicara. Pasang stel pendiam.
"Mau potong gaya apa Oom?" tanya Farhan.
"Kalau gaya Clay Aiken masih pantas nggak buat aku?" jawabku bercanda.
"Beres Oom. Pantes banget deh. Sejak Oom ngintip tadi aku juga mikir, tuh Oom koq ngganteng amat. Potongan macam Clay pasti ciocok buat Oom," Woow.. Ternyata dia senang nyerocos.
"Oo, jadi kamu sudah ngelihat aku tadi, ya? Aku juga milih yang paling tampan loh. Aku minta sama reseptionis tadi,"
"Ah, bsa aja Oom. Terima kasih, Oom. Mau minum apa nih?"
"Ehhmm.. Coca Cola deh. Tapi bener khan? Kamu paling tampan?"
Suasana dan komunikasi sudah semakin memanas. Pemburu dan buruannya sudah semakin mendekati kesepakatan. Tangan Farhan sudah berani menjepit gundukan di selangkanganku saat menjumput kain penutup potongan rambut. Aku memang sudah ngaceng. Wewangian yang keluar dari tubuh Farhan. Aroma tahunerapi dari keringatnya sangat membangkitkan gairah libidoku.
"Aku pengin ngajak makan kamu Farhan," aku menyerang dengan desakan.
"Nanti aku pulang jam 5, Oom. Aku tunggu di depan MD lantai bawah?" respon positip yang langsung kuterima.
Pulang kantor aku bergegas. Tepat jam 5 sore itu aku sudah berada di depan MD. Mana si Farhan? Ah, itu dia. Rupanya baru turun dari salonnya. Kulambaikan tanganku. Dia melihatnya. Saat di mobil aku langsung tanya,
"Bagaimana kalau kita makan Steak Abuba di Kebayoran? Dari sana kita ke Motel Pulo Mas. OK?" Dia setuju dan aku meluncur ke sana. Sepanjang jalan kami saling elus, raba dan remas. Hal ini justru membuat rencana jadi berubah. Farhan yang jadi sangat ngebet dan usul,
"Oom, makannya di kamar saja. Kita langsung ke Motel Pulo Mas saja," aku jelas setuju. Kugenjot mobil masuk Tol menuju arah Tanjung Priok. Keluar di Cempaka Putih berputar balik menuju Motel Pulo Mas. Dduhh.. Nafsu birahi yang tak sabar.
Ternyata Motel Pulo Mas sangat laris. Kami ngantre dan parkir di taman. Apa boleh buat. Sementara menunggu, 'foreplay' berjalan terus. Kami saling melepas kancing celana dan menarik keluar kemaluan-kemaluan kami. Saling pijit, elus, raba, remas, peras. Dan pada akhirnya juga saling menjilat, menggigit dan kulum. Dan apa yang kemudian terjadi?
Kami relah berasyik masyuk dan meraih kepuasan. Kami saling mengalami ejakulasi yang nyemprot muncrat dan tumpah ke mulut-mulut kami. Aku menikmati sperma segar Farhan dan sebaliknya Farhan menikmati spermaku. Dan akibatnya rasa lapar langsung menimpa kami. Sekali lagi, apa boleh buat. Kami meninggalkan motel tanpa pernah masuk ke kamarnya. Kami mendapatkan tempat aman dan nyaman dengan gratis. Dan pada akhirnya kami berpisah di Abuba Steak sesudah masing-masing melahap 2 porsi sherloin 200 gram dari New Zealand.
*****
[Bioskop Ajang Kencan]
Toleransi Yunior untuk Senior
Inilah pertama kalinya aku kencan sesama pria di bioskop. Yang ngajak seorang bapak-bapak. Pak Wena, usianya hampir 60 tahun. Kami bertemu beberapa menit yang lalu di toilet lantai 4 Atrium Senen.
Setelah saling pandang mata dan mengernyitkan alis,
"Dik, kita nonton di seberang yok" Aku tahu itu adalah Bioskop Mulia tempat para gay Jakarta berasyik ria saling peras, remas, lumat, isep, kulum dan teguk sperma. Pak Wena nampak sangat 'ngebet' melihati aku. Belakangan aku baru tahu bahwa dia adalah staf ahli salah satu departemen RI. Dia adalah profesor dalam bidang ilmu sosial.
Sesudah ngantre (Pak Wena minta aku yang antre, khawatir bawahannya yang melihatnya), kami memasuki ruang gelap untuk mencapai kursi kami. Seorang petugas dengan lampu senternya mengantar hingga kami duduk. Aku sengaja pilih deretan kursi kosong. Namun siang itu ternyata tak banyak penonton. Dari sekitar 100 kursi rasanya hanya sekitar 10 atau 15 kursi saja yang terisi.
Begitu duduk Pak Wena langsung mengamplok aku. Dia ciumi leherku, bahuku, tengkukku dan kemudian melumat-lumat bibirku. Tangannya sangat terampil. Sambil mencium dia lepasi kancing zip celanaku dan menariknya ke bawah. Dengan sedikit mengangkat pantat aaku membantu agar memudahkan celanaku merosot. Tangan Pak Wena langsung merogohi kemaluanku,
"Gede banget, Dik. Boleh dong aku jilat-jilat?!," katanya sambil melepas kacamatanya dan kemudian merunduk menjemput arah selangkanganku. Dia menjilati dan mulai mengisep, menjilat dan mengulum kontolku. Aku serasa terbang. Syahwat dan jilatan Pak Wena memberikan nikmat tak terhingga. Orang tua macam Pak Wena sangat sabar. Kurasakan ujung lidahnya menggelitik pelan di ujung lubang kencingku.
Untuk memberikan sensasi padanya aku remasi kepalanya. Kujambak tarik rambutnya untuk menunjukkan birahiku yang melanda. Aku mengeluarkan desahan ke dekat kupingnya. Jilatan Pak Wena pada batang kontolku nampak semakin menggila.
Sesudah cukup pegal menunduk Pak Wena bangkit dan memberikan kesempatan padaku. Aku raba dan remasi selangkangannya. Kurasakan kontol Pak tua ini masih seperti batu panas. Aku lepaskan resluitingnya dan kutarik merosot celananya. Kini aku ganti melumat. Kontol Pak Wena kuhela keluar dari celana dalamnya dan ku kulum. Precumnya terasa sangat asin. Aku mengerang penuh nikmat. Pak Wena ganti mengelusi punggung dan rambutku.
Akhirnya kurasakan kontol Pak tua ini semakin tegang dan membesar. Pasti keinginan untuk tumpah sudah mendesaki syahwat Pak Wena. Aku memompa lebih kencang dan mempersempit jepitan bibirku.
Dengan geliat dan desahan tak tertolak Pak Wena meremas punggungku. Aku bersiap untuk menerima tumpahan sperma Pak tua. Dan.. Aarrcchh.. Nikmatnyaa.. Mulutku yang penuh terjejali kontol Pak tua kini menerima lahar panas sperma kentalnya. Aku merasakn gurihnya, pahitnya, asinnya, lengket dan kentalnya. Semua sperma Pak Wena kutelan ludas tanpa cecer. Aku sangat menyukai situasi macam begini.
Sesudah istirahat sejenak kembali Pak Wena merangsang nafsuku. Kontolku dielusi, diremas dan dikocok-kocoknya hingga kembali tegar berdiri. Namun aku merasakan Pak Wena tidak lagi bergairah sebagaimana awalnya tadi. Aku agak kasihan juga. Sebaiknya aku toleransi dan memaklumi faktor usianya,
"Kalau bapak capek, sudah saja. Kita kembali saja ke Atrium, OK?" ternyata dia langsung setuju. Namun kami sepakat langsung berpisah begitu keluar dari bioskop itu. Aku sendiri kembali ke Atrium untuk kembali memburu atau diburu pria lain.
Sekian dulu, lain waktu nyambung lagi
Tamat