Pertempuran terakhir - 2

Di lapangan, Tetua Demilis sudah duduk di atas mimbar menunggu seluruh penduduk kota berkumpul di lapangan. Kulihat Narayan berdiri di dekat mimbar. Serta-merta kupanggil Narayan.
"Hey, Arya!"
Narayan melihat ke arahku. "Faran!" teriak Narayan sambil berlari menghampiriku.
"Ada apa ini?" tanyaku.
Narayan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Setelah kau pulang, ada utusan Tetua Demilis memanggilku untuk segera berkumpul di lapangan."
Aku mengangguk sambil terus memperhatikan apa yang terjadi di mimbar. Kulihat Tetua Demilis membawa sebuah kotak yang dibungkus kain hitam.

Beberapa saat kemudian Tetua Demilis membuka acara. Narayan masih saja berdiri di sampingku sambil memeluk bahuku.
"Saudara-saudara sekalian!" kata Tetua Demilis membuka acara ini, "Maafkan saya kalau saya menginginkan saudara-saudara sekalian berkumpul pagi ini secara mendadak. Saya mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan tadi malam. Bahwa Kaum Mordenis akan mengadakan penyerangan ke kota ini esok malam. Setelah mereka kita kalahkan di Almar, mereka membangun pertahanan di Sanserio. Menurut berita yang saya terima tadi malam, mereka akan menyerang Alasar esok malam. Jika kota ini jatuh, maka seluruh Nydus pasti jatuh ke tangan mereka."

Hadirin yang berkumpul saat itu menjadi gelisah, dan suara-suara riuh rendah terdengar.
"Lalu bagaimana nasib kami, Tetua?" teriak seorang tua.
"Tenanglah, saudara-saudara sekalian. Pertahanan kita saya rasa sudah cukup, namun tadi malam telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Sewaktu aku tidur, aku bermimpi bertemu Dewi Aykara. Beliau menyerahkan burung piaraannya yang bernama Kinara untuk melindungi Nydus dari kaum Mordenis. Benar-benar sesuai dengan legenda terjadinya Nydus, dan ramalan bahwa Nydus akan diselamatkan oleh seekor burung surga."

Suasana hening menyelimuti lapangan itu. Orang-orang yang hadir disitu tidak berani berkomentar sepatah kata pun. Tetua Demilis diam sejenak, menarik nafas. Kemudian ia membuka bungkusan hitam yang sedari tadi dibawanya. Terlihat sebuah kotak kaca yang berisi jubah besi memancarkan cahaya keemasan.
"Inilah Kinara Si Burung Surga.." kata Tetua Demilis, "Namun sayang sekali, Dewi Aykara tidak memberitahuku bagaimana menghidupkan Kinara. Beliau hanya berkata, akan ada seseorang yang membangunkan Kinara dari tidurnya. Maka dalam kesempatan ini saya mengajak saudara-saudara sekalian untuk mencoba memakai jubah Burung Surga ini."

Kemudian beberapa orang mencoba, namun selalu saja gagal. Kata mereka, mengangkat kotak kaca itu saja berat sekali.
"Tetua Demilis yang dapat mengangkat kotak kaca itu tidak mampu memakainya, apalagi orang lain.." gumam seorang hadirin.

Hari semakin siang, matahari di atas Alasar bersinar terik, namun masih saja jubah Kinara itu berada di tempatnya, tidak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya. Orang-orang yang hadir disitu semakin penasaran dengan jubah besi tersebut.
"Di sebelah kiri kotak ini ada tulisan, namun ditulis dalam aksara Nydus kuno, dan aku tidak dapat membacanya." kata Tetua Demilis.

Tiba-tiba aku ingin maju dan mencoba memakai jubah itu.
"Arya, aku ingin mencoba jubah itu, menurutmu bagaimana?" tanyaku kepada Narayan yang berdiri di sampingku.
"Mencoba memakai jubah itu?" tanya Narayan memastikan.
Aku mengangguk pasti. "Bagaimana?" tanyaku.
"Coba saja, mungkin kamu bisa memakainya.." kata Narayan setengah tak yakin.

Aku langsung menuju mimbar, dan kukatakan kepada Tetua Demilis bahwa aku ingin memcoba membangunkan Kinara. Tetua Demilis mempersilakanku. Aku mencoba mengangkat kotak kaca itu, ternyata sungguh berat. Lalu aku mencoba membuka kotak kaca itu, dan gagal. Keringatku mulai bercucuran. Aku diam sejenak mengatur nafasku. Tiba-tiba aku teringat burung keemasan yang kemarin sore kutemui di pantai bersama Narayan. Lalu terpikir olehku jika perkataan burung tersebut kuulangi sekali lagi disini.

"Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir.." seruku keras.
Yang terjadi kemudian sungguh di luar perhitunganku. Langit yang semula cerah dan matahari yang semula bersinar terang, tiba-tiba menjadi gelap, dan udara yang semula terasa gerah, tiba-tiba terasa sangat dingin menusuk tulang. Dalam suasana gelap tersebut, jubah Kinara nampak sangat berkilauan. Kemudian tiba-tiba angin puyuh menerpaku dan berputar-putar di sekeliling tubuhku, dan ajaib! Jubah Kinara itu sudah terpasang rapih di tubuhku.

Semua orang yang hadir disana memandangku takjub. Demikian juga Tetua Demilis. Narayan yang sedari tadi berada di tengah kerumunan orang-orang di lapangan, segera berlari menghampiriku, dan memelukku erat-erat.

Tak lama kemudian senja pun tiba. Tanpa terasa aku berada di lapangan ini seharian penuh. Jubah Kinara itu masih kupakai. Kuperhatikan jubah itu baik-baik. Jika kurentangkan tanganku, maka helai-helai sayap di bawah tangan akan mengembang, dan jika kugerakkan tanganku sedikit saja, maka aku dapat terbang.

Narayan memandangku dengan penuh kekaguman.
"Sudahlah Arya!" kataku sambil menutupkan tanganku ke matanya.
Narayan memegang kedua tanganku, menarikku, dan mencium bibirku. "Kamu memang luar biasa, Faran." katanya.
Aku tersenyum, dan kupeluk Narayan. "Kamu juga luar biasa, Arya."
Kami berdua berjalan menuju kediaman Tetua Demilis untuk merencanakan strategi perang esok malam.

Di kediaman Tetua Demilis sudah ada delapan orang. Aku menyapa mereka semua ketika aku memasuki kediaman Tetua Demilis. Tetua Demilis segera memulai penyusunan strategi untuk esok. Kami akan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing berisi lima orang. Kelompok pertama menghadang musuh dari selatan, karena menurut informasi yang didapat Tetua Demilis, musuh akan menyerang dari selatan. Sedangkan kelompok yang kedua akan menghadang musuh dari barat, karena pertahanan paling lemah dari kota ini adalah sebelah barat yang berbukit-bukit.

Tetua Demilis memasukkanku ke kelompok dua, sedangkan Narayan masuk kelompok satu. Aku sempat protes, namun Tetua Demilis menjelaskan, bahwa kemampuanku terbang sangat diperlukan di daerah berbukit-bukit, sedangkan Narayan sangat diperlukan di bagian selatan, karena kemampuan bertempurnya hebat. Setelah selesai penyusunan strategi, diputuskan kami semua berangkat sekarang, sehingga kami mempunyai waktu mempelajari medan hingga esok hari.

Rinka dengan jubah Badai Saljunya, Mayan dengan jubah Pelanginya, Kyrio dengan jubah Serigalanya, dan Raditya yang mengenakan jubah Matahari Biru adalah anggota kelompokku, kelompok dua. Dari kelima anggota kelompok dua, hanya Rinka yang dapat berkomunikasi baik dengan kelompok satu maupun dengan Tetua Demilis, karena Rinka memiliki kemampuan telepati.

Malam itu kami berangkat menju perbatasan kota sebelah barat. Tujuan kami adalah bukit Toddar. Setelah berjalan selama lima jam, sampailah kami di bukit Toddar. Setelah beristirahat sebentar aku meminta Rinka untuk menghubungi Narayan yang mungkin sudah sampai di perbatasan selatan kota ini.
"Kata Narayan, ternyata kita salah perhitungan. Musuh datang malam ini, untung dia sudah sampai satu jam yang lalu. Tetapi dia belum membaca medannya. Aku khawatir, Faran!" kata Rinka.

Aku diam saja, hatiku gelisah. Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaan Narayan.
"Rinka, bagaimana kalau aku terbang ke selatan, nanti kalau ada apa-apa di sini, hubungi saja aku."
Rinka membesarkan kedua bola matanya. "Kamu mau terbang ke selatan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kurang lebih dibutuhkan waktu satu jam dalam kondisiku yang capek seperti ini."
"Baiklah, aku berjanji akan menghubungimu jika ada sesuatu yang tidak dapat kami selesaikan." kata Rinka.
"Terima kasih, Badai Salju! Pamitkan aku ke teman-teman yang lain." kataku sambil melesat terbang menuju selatan.
"Hati-hati, Kinara!" teriak Rinka sambil melambaikan tangannya.

********

Satu jam kemudian aku sampai di perbatasan selatan. Kulihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, tetapi aku tidak melihat Narayan. Aku segera turun dan membantu teman-temanku.
"Sayap-sayap emas!" teriakku sambil mengibaskan kedua sayapku, dan beberapa prajurit Mordenis bergelimpangan tertusuk sayap emasku.
Tak lama kemudian seluruh pasukan Mordenis dapat kuatasi. Tetapi biasanya mereka menyerang dalam beberapa gelombang, dan ini masih gelombang pertama.

"Mana Narayan?" tanyaku kepada Darien Si Bulan Sabit.
"Disana! Dia terluka ketika melawan Amashan." jawab Darien.
"Amashan?" tanyaku memastikan.
Darien mengangguk pasti. "Ya! Amashan."
Aku tidak tahu strategi apa lagi yang dipakai oleh Kaum Mordenis, karena Amashan merupakan panglima tinggi di Kaum Mordenis, dan dia terkenal sebagai Kstaria yang sangat tangguh. Aku sangat khawatir akan keadaan Narayan, dan aku melesat ke arah yang ditunjukkan oleh Darien dan mencari Narayan.

"Arya! Dimana kamu? Arya!" teriakku.
"Faran? Aku disini Faran!" terdengar suara Narayan.
Langsung aku menuju asal suara tersebut. Kulihat Narayan terbaring di tanah berlumuran darah.
"Faran, aku telah membunuhnya! Aku telah membunuhnya, Faran!" teriak Narayan begitu melihatku.
"Siapa?" tanyaku sambil memeriksa luka Narayan.
Ternyata lukanya benar-benar parah, dia telah kehilangan banyak darah.

"Amashan. Aku telah membunuh Amashan, Faran!" kata Narayan penuh kemenangan.
Kemudian tiba-tiba Narayan menutup matanya.
"Arya! Arya! Arya!" teriakku sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Kamu tidak boleh mati, Arya!" teriakku lagi.
Kuraba jantung Narayan, dan terasa sudah tidak berdenyut lagi. Narayan telah mati. Mataku berkunang-kunang, dan pandanganku jadi gelap. Samar-samar kudengar pasukan Mordenis datang lagi, tetapi aku sudah tidak dapat lagi bergerak.

"Awas Faran! Di belakangmu!" samar-samar kudengar suara Darien memperingatkanku.
"Bulan Sabit Merah!" teriak Darien sambil menerjang sekumpulan prajurit Mordenis yang mengepung kami.
Selarik sinar kemerahan memancar dari tangan kiri Darien. Untuk sesaat Darien berhasil melindungiku. Aku tetap saja tidak dapat melihat dan bergerak sedikitpun. Kemudian kurasakan sebilah pedang menebas punggungku. Sakit itu terasa sebentar saja, selanjutnya aku tidak merasakan apapun. Suara-suara perang yang tadinya samar-samar, kini tidak terdengar sama sekali. Seolah aku berada di sebuah ruangan kosong yang sangat sepi.

Tiba-tiba kudengar suara Rinka.
"Kinara! Bagaimana keadaan disana?" tanya Rinka.
"Keadaan disini baik-baik saja, Rinka. Tetapi Arya telah meninggal." jawabku.
"Astaga! Narayan telah.." suara Rinka semakin lama semakin samar.
Mungkin aku telah meninggal juga. Tetapi mengapa aku tidak bertemu dengan Arya? Lalu kurasakan tubuhku diguncang-guncangkan dengan kuat.

********

"Bangun! Bangun, Kak!"
Aku membuka mataku. Kulihat Nita adikku mencoba membangunkanku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tuh, ada telepon dari Kak Rangga." kata Nita.
Aku melompat dari tempat tidur dan segera menuju telepon.

"Halo, Rangga?"
"Iya Fan! Kamu udah kerjakan makalah Bahasa Indonesia belum? Besok kan dikumpulkan." kata Rangga.
"Belum Ngga! Nanti malem aja, lagi males nih." kataku.
"Oo, ya udah kalo gitu. Eh kamu tadi sedang tidur yah?" tanya Rangga.
"Iya! Bangun gara-gara telepon dari kamu!" kataku jengkel.
"Hehehe, sorry deh, kalo gitu lanjutin tidur kamu aja yah!" kata Rangga sambil menutup teleponnya.

"Sialan!" umpatku pelan.
"Kakak tuh kalo tidur jangan kayak kebo dong, kan Nita banguninnya susah!" kata Nita yang tiba-tiba berdiri di dekatku.
Aku hanya tersenyum mendengar keluhan adikku.

Aku kemudian masuk kamar dan bercermin.
"Wah, mana Jubah Kinaraku?" tanyaku dalam hati.
Mimpiku tadi benar-benar mengasyikan, apalagi bagian yang 'itu'. Aku bercermin sambil senyum-senyum sendiri. Hey, kalau tidak salah Narayan tuh wajahnya mirip banget dengan Rangga, temanku sekelas yang baru saja nelpon. Aku memandangi bayanganku di dalam cermin, aku sudah bukan lagi Faran Sang Kinara, aku adalah Arfan anak kelas dua SMU yang suka banget baca komik, pikirku. Aku tersenyum sendiri jika ingat kemarin Bu Widya merampas komikku ketika kubaca waktu pelajaran beliau.

Kemudian aku keluar kamar dan mengambil handuk, aku ingin mandi. Kulihat jam menunjukkan pukul setengah lima. Ternyata sudah sore, batinku. Kulihat Mama sedang menggoreng sesuatu di dapur ditemani Mbak Iyem.
"Arfan!" teriak Mama memanggilku.
"Ada apa Ma?" tanyaku.
"Tolong antar Nita les abis ini, soalnya Mama abis ini ada janji dengan Tante Ninik." kata Mama.
Aku mengangguk. "Ya, Ma!" kataku sambil menuju kamar mandi.

Aku mandi sambil mengingat-ingat mimpiku yang baru saja. Sepertinya semua kejadian disana benar-benar nyata, apalagi bagian 'itu'-nya. Aku memang diam-diam sejak kelas satu menyukai Rangga. Walaupun hanya mimpi, aku sudah cukup senang dapat bercinta dengan Rangga, pikirku.

********

Esok paginya, di kelas teman-teman ribut mengenai makalah Bahasa Indonesia yang harus dikumpulkan nanti jam ke tiga. Kulihat ada beberapa anak tidak mengerjakannya, termasuk Rangga.
"Kamu sudah mengerjakannya Fan?" tanya Rangga.
Aku mengangguk. "Sudah!"
"Sialan! Aku malas banget kemarin!" kata Rangga.
Aku hanya tertawa. Kemudian kusodorkan sebuah makalah dengan nama Rangga sebagai penyusunnya.
"Aku kemarin bikin dua, satunya buat kamu!"

Rangga tersenyum lebar. "Makasih lho Fan!" kata Rangga sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Kalo cuma kata makasih aja tuh rasanya hambar Ngga! Harusnya traktir makan kek!" kataku berseloroh.
"Iya deh, gampang! Tar pulang sekolah kita makan bakso." kata Rangga.
"Aaah, kalo bakso kan tiap hari juga makan.. yang keren dong. Bakmi Gajahmada.. gitu."
"Jangankan Gajahmada, Fan. Kalo untuk kamu Gajahmungkur sekalian.."
"Yee.. Gajahmungkur kan Waduk?"
"Yah, maksudnya kamu diceburin ke waduk!" kata Rangga asal.
"Sialan kamu!"
"Sudahlah, pokoknya nanti pulang sekolah kamu ke rumahku."
"Asyik.. ada apa nih?"
"Pokoknya datang aja deh!"

Pelajaran hari itu benar-benar terasa membosankan. Setelah menahan selama delapan jam pelajaran, akhirnya selesai juga.
"Kamu disini dulu, aku mau ambil motor!" kata Rangga.
Aku mengangguk. Tak berapa lama berselang Rangga sudah naik motor dengan membawa dua buah helm. Rangga benar-benar merahasiakan kejutan apa yang sudah dibuatnya hingga aku penasaran.

"Ngga! Aku mau nanya boleh ngga?"
"Apaan?" tanya Rangga.
"Tapi kamu janji jangan ketawa mendengarnya." kataku.
"Wah aku nggak janji, soalnya pertanyaan kamu kadang suka asal.."
"Sialan kamu! Eh, kamu pernah nggak mimpiin aku?" tanyaku.
"Mimpiin kamu? Hua hua hua.." Rangga tertawa, "Wah mimpiin kamu tuh rugi!"
"Sialan kamu!" kataku.

Tak lama kemudian aku sampai di rumah Rangga. Aku langsung masuk kamar mengikuti Rangga.
"Kita makan dulu yuk! Nanti kejutannya kalo udah makan." ajak Rangga.
Aku menurut. Kulihat rumah Rangga sepi sekali. "Ngga, mana Mama dan adik-adik kamu?" tanyaku.
"Mereka sedang ke Surabaya. Ada sepupu yang nikah." jawab Rangga.
"Ooo.." kataku.

Kemudian kami selesai makan, dan Rangga mengajakku menuju kamarnya.
"Mana kejutannya?" tanyaku.
"Ini.." kata Rangga sambil mencium bibirku.
Sesaat aku menikmatinya, kemudian tiba-tiba aku tersadar dan mendorong Rangga hingga terjatuh.
"Apa-apaan kamu Ngga?" tanyaku sambil spontan mengusap bibirku.
Rangga berdiri sambil berkata, "Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir."

Aku terkejut sekali ketika Rangga mengucapkan kata-kata itu. Aku terkejut sekali hingga aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku terkejut sekali hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika Rangga menciumku untuk yang kedua kalinya.

TAMAT